Minat Baca dan Buku Murah
Menarik sekali sebuah artikel yang di tulis oleh Dwi Prihastuti di rubrik metropolis dengan judul ”Membuat Anak Kecanduan Membaca” (JP,19/12). Saya sependapat dengan beliau. Bahwa, menanamkan minat baca pada anak bisa dilakukan sejak dini. Menanamkan minat merupakan sebuah langkah awal sebelum membiasakan anak dengan buku.
Keluarga mempunyai peranan yang sangat besar dalam menanamkan minat membaca pada anak. Apa yang bisa dilakukan oleh orang tua/keluarga? orang tua bisa melakukan dengan membacakan buku-buku cerita dan bergambar, mengajak anak ke toko buku, disamping itu, orang tua harus menjadi teladan (Dwi Prihastuti, JP, 19/12).
Tetapi tidak semua keluarga bisa melakukan hal tersebut. Terutama keluarga yang berasal dari kelas mengengah ke bawah; dengan kondisi ekonomi yang serba terbatas. Alih-laih beli buku, beli makan saja susah. Mempunyai anak yang bisa melanjutkan sekolah sampai jenjang SLTP saja, mereka sangat bersyukur. Bagi mereka, buku, dan sekolah bukan sebuah kebutuhan utama melainkan kebutuhan sampingan sewaktu-waktu dapat ditunda bahkan ditiadakan. Masyarakat seperti mereka eringklai pasrah dengan keadaan dan zaman yang semakin berubah. Benar apa kata pepatah ” orang miskin akan tetap menjadi miskin dan bodoh”.
Pemandangan tersebut, sangat kontras dengan kehidupan keluarga menengah ke atas. Hampir rumah-rumah mereka terdapat rak-rak buku atau ruang perpustakaan pribadi yang dipenuhi koleksi ratusan judul buku. Mulai dari jenis bacaan anak-anak hingga bacaan dewasa. Hari-hari liburan, sering mereka gunakan untuk berbelanja buku. Pendek kata, mereka mempunyai segala-galanya untuk memiliki buku (lihat pula cover story metropolis JP,20/12).
Buku sekarang menjadi barang mahal terutama buku-buku yang berbobot dan ”berkualitas” seperti ensiklopedia, komik, kamus dan seri cerita bergambar. Para penerbit sendiri, berlomba-lomba memperindah buku-buku mereka dengan cover lux agar buku-buku tersebut dapat menarik perhatian masyarakat dan laku jual. Inilah yang terkadang membuat buku itu menjadi mahal. Segmen mereka tertuju pada kelas menengah-atas.
Pernah suatu ketika Saya ingin membeli buku pendidikan di sebuah toko buku besar di Surabaya. Ketika Saya melihat harganya, tertera Rp. 50.000,00. Saya kaget! akhirnya Saya urungkan niat Saya tersebut. Karena, bagi mahasiswa pas-pasan seperti Saya ini, harga tersebut termasuk kategori mahal. Otomatis, Saya pulang dengan tangan hampa. Sebuah pengalaman yang tidak patut di teladani dari Saya. Suatu ketika, karena ngebet sekali ingin memiliki sebuah buku yang ”berkualitas” tapi, karena tidak berdaya untuk membeli, Saya memanfaatkan keanggotaan Saya di suatu perpustakaan daerah, dengan meminjam buku yang Saya maksud, kemudian dengan sengaja Saya tidak mengembalikannya. Jadilah Saya ”pencuri buku”.
Buku Murah
Dari berbagai toko buku di Surabaya seperti; TB Gramedia, Uranus, gunung Agung dan lain-lain. Jarang yang menjual buku dengan harga murah. Kalaupun toh ada buku murah dengan diskon sampai 50 persen itupun, buku yang sudah kadaluwarsa. Satu-satunya di kota Surabaya yang menjual buku-buku murah hanyalah di Pasar Belauran/TB Belauran itupun tidak selengkap TB yang lain disamping itu, tingkat keorsinilitasnya masih diragukan. Meskipun begitu, TB Belauran masih tetap menjadi primadona masyarakat yang bermodal pas-pasan. Kalau kita bandingkan Toko buku yang menjual buku ”murah” dengan ”mahal” perbandingannya sangat jauh.
Peran Pemerintah
Peran pemerintah sangat besar dalam menciptakan budaya membaca di masyarakat. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemkot Surabaya. Mulai dari menyediakan perpustakaan yang lengkap seperti PerpusDa, hingga perustakaan keliling. Bahkan minggu yang lalu pemrov Jawa Timur mengadakan pameran buku ”murah” di Convertion Hall Surabaya. Tujuan utama dari pameran tersebut adalah untuk menggalakkan minat baca masyarakat Jatim.
Tetapi usaha tersebut masih belum mendongkrak minat baca masyarakat. Fasilitas perpustakaan daerah ditambah lagi dengan mobil perpustakaan keliling tidak sebanding dengan jumlah warga kota secara keseluruhan yang berjumlah 2.599.796 jiwa (2000). Pameran-pameran buku ”murah” yang sering diadakan oleh pemerintah masih belum bisa menarik perhatian warga kelas bawah. Kita dapat melihat dari pengunjug-pegunjung yang memenuhi berbagai acara pameran buku ”murah” seperti yang diadakan Convertion Hall kemarin.
Selain bekerja keras, pemerintah dalam ini dituntut untuk bekerja cerdas dengan mencari berbagai alternatif pemecahan masalah. Saya salut dengan sekelompok masyarakat dan para pemuda yang mendirikan sebuah rumah belajar bagi warga kota khususnya warga kelas menengah ke bawah. Rumah belajar tersebut diantaranya; Sanggar Alang-alang dan Rumah Cahaya Az-Zahra. Rumah Cahaya (RumCa) yang terletak di Ketintang tersebut, merupakan rumah baca yang menyediakan berbagai macam buku bacaan yang dikhususkan bagi anak-anak yang tidak beruntung. Tetapi keberadaan rumah-rumah belajar/baca di kota ini, masih minim dan bisa dihitung dengan lima jari.
Belajar dari Sanggar Alang-alang dan rumah Cahaya Az-Zahra, Sebenarnya pemerintah dapat membuat rumah atau taman-taman bacaan yang serupa. Pemerintah tidak harus membangun dengan megah seperti bangunan PerpusDa yang ada sekarang. Rumah Baca bisa dibangun secara sederhana dan tidak membutuhkan biaya yang besar. Yang terpenting, ada di setiap pelosok kota atau minimal di setiap kecamatan terdapat satu taman atau rumah baca. Keberadaannya akan jauh lebih bermanfaat, terjangkau dan efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar